Kurikulum kita mengikuti filosofi mastery learning (belajar tuntas). Belajar tuntas (mastery learning) adalah filosofi pembelajaran yang berdasar pada anggapan bahwa semua siswa dapat belajar bila diberi waktu yang cukup dan kesempatan belajar yang memadai.
Selain itu, dipercayai bahwa siswa dapat mencapai penguasaan akan suatu materi bila standar kurikulum dirumuskan dan dinyatakan dengan jelas, penilaian mengukur dengan tepat kemajuan siswa dalam suatu materi, dan pembelajaran berlangsung sesuai dengan kurikulum. Dalam metode belajar tuntas, siswa tidak berpindah ke tujuan belajar selanjutnya bila ia belum menunjukkan kecakapan dalam materi sebelumnya.
Belajar tuntas berdasar pada beberapa premis, diantaranya: a) Semua individu dapat belajar, b) Orang belajar dengan cara dan kecepatan yang berbeda, c) Dalam kondisi belajar yang memadai, dampak dari perbedaan individu hampir tidak ada, d) Kesalahan belajar yang tidak dikoreksi menjadi sumber utama kesulitan belajar.
Siswa yang tidak menyelesaikan suatu topik dengan memuaskan diberi pembelajaran tambahan sampai mereka berhasil (remidial). Siswa yang menguasai topik tersebut lebih cepat akan dilibatkan dalam kegiatan pengayaan sampai semua siswa dalam kelas tersebut bisa melanjutkan ke topik lainnya secara bersama-sama. Dalam lingkungan belajar tuntas, guru melakukan berbagai teknik pembelajaran, dengan pemberian umpan balik yang banyak dan spesifik menggunakan tes diagnostik, tes formatif, dan pengoreksian kesalahan selama belajar. Tes yang digunakan di dalam metode ini adalah tes berdasarkan acuan kriteria dan bukan atas acuan norma.
Karenanya konsep mastery learning ini maka Kurikulum kita (KTSP juga K-13) dijelaskan dengan SK, KD dan lainnya secara detail, dan dibuatlah KKM (kriteria ketuntasan minimal) yang dianggap memuaskan dan remidial bila seorang anak belum mencapai KKM yang ditentukan.
Lalu bagaimana menentukan KKM?
Dijelaskan bahwa cara menetukan KKM melihat tiga (3) hal/aspek yaitu; 1) Karakteristik peserta didik (intake), 2) Karakteristik mata pelajaran (kompleksitas materi/ kompetensi), dan 3) Kondisi satuan pendidikan (daya dukung) pada proses pencapaian kompetensi.
Pertanyannya: Apakah sekolah melakukan itu dengan baik dan benar bahkan serius? Baik mulai no 1 sampai no 3, utamanya no 2? Benarkah dilakukan?
Lalu setelah ditentukan KKM-nya, apakah anak-anak mendapatkan remidial dengan benar? Dalam artian bila ditentukan KKM misalnya 75 untuk mata pelajaran IPS dan IPA lalu 7.0 untuk Matematika.
Apakah setelah anak-anak mendapatkan evaluasi dan nilainya mencapai dibawah KKM apakah mesti diremidi? Ya seharusnya…berapa kalikah remidial itu (secukupnya, seharusnya sampai KKM tuntas/dicapai). Mungkinkah itu dilakukan bila melihat realita, utamanya pelajaran Matematika atau B. Inggris juga lainnya?
Matematika misalnya: Anak yang sangat pandai mendapat nilai 80 – 100, yang pandai mendapat 70 – 75, yang sedang 60 – 65, yang kurang 45 – 50, dan yang kurang sekali mendapat skore/nilai 20-40. Ini realitanya.
Setelah diremidial misalnya, maka hasil remidi 2x, anak-anak yang mendapat skore 60 dan 50 mencapai skore 70 (memuaskan, tuntas sesuai KKM). Dan anak yang mendapatkan skore 20 -40, mungkin perlu remidial 5-7x, supaya tuntas sesuai KKM.
Pertanyaan yang sangat sulit dijawab adalah:
1) Apakah yang mendapat 70 asli dan 70 remidial akan sama diraport-nya dan juga pemahamannya?
2) Apakah anak-anak yang mendapat nilai 20 – 40, mampu mencapai 70 dengan remidial 5-7x, misalnya?
3) Kalaulah mampu, apa makna nilai itu buat mereka? Apakah mereka akan paham dan tuntas materi KD tersebut?
4. Mungkinkah guru/sekolah melakukan remidial sebanyak itu?
1) Apakah yang mendapat 70 asli dan 70 remidial akan sama diraport-nya dan juga pemahamannya?
2) Apakah anak-anak yang mendapat nilai 20 – 40, mampu mencapai 70 dengan remidial 5-7x, misalnya?
3) Kalaulah mampu, apa makna nilai itu buat mereka? Apakah mereka akan paham dan tuntas materi KD tersebut?
4. Mungkinkah guru/sekolah melakukan remidial sebanyak itu?
Karena konsep besarnya sudah bermasalah (sebab tidak ada KKM sekolah yang 5.0 misalnya, 6.0; 6.5, justru yang banyak malah 7.5 dan 8.0, minimal 7.0), maka remidial akan sekadar remidial, raport tidak mencerminkan dan menceritakan keadaan siswa yang sebenarnya. Karena takut akan tidak naik/lulus, setiap anak mesti naik/lulus, maka bagaimanapun harus diupayakan nilai sesuai KKM. Apa yang terjadi?
Marilah kita bicara sebagai seorang pendidik yang tahu realitas dilapangan, dan bukan sekadar konsep diatas kertas. Bagaimana mensingkronkan antara idealisme dan realitas dilapangan?
Muhammad Alwi, S.Psi, MM
Sumber : https://pendidikanpositif.com/2018/12/27/kkm-dan-kebohongan-terstruktur-pendidikan/